Selasa, 29 Oktober 2013

tindak pidana perpajakan



Pendahuluan
A.                Latar Belakang
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani adalah iuran kepada negara yang terutang oleh wajib pajak berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat prestasi secara langsung. Dengan demikian pajak merupakan kewajiban warga negara yang harus dibayarkan kepada negara. Negara mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat dan untuk itu memerlukan biaya. Biaya ini diperoleh dari masyarakat melalui pemungutan pajak, artinya pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membiayai rumah tangga negara.[1]
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu segala sesuatu harus berdasarkan pada hukum. Sejalan dengan hal ini dalam hal perpajakan, harus ada hukum yang mengatur jalanya perpajakan si Indonesia. Hukum pajak adalah himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, tentang siapa; dalam hal apa dikenai pajak; timbulnya kewajiban oajak; cara pemungutanya serta penagihannya.
Pada masa sekarang ini negara Republik Indonesia sedang giat-giatnya dalam melaksanakan pembangunan untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai negara yang sedang berkembang yang masih dalam tahap pembangunan, maka agar pembangunan berjalan dengan lancar dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar dan pengelolaan dana yang efisien. Dana itu dapat diperoleh dari sektor perpajakan atau dengan kata lain dari pajak yang dibayar oleh seluruh wajib pajak, dengan demikian dapat diketahui bahwa pembangunan yang ada di negara kita adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam praktek perpajakan, sering terjadi kesalahan-kesalahan atau tindakan yang merugikan kepentingan umum, baik itu yang dilakukan oleh pegawai perpajakan, wajib pajak, kuasa wajib pajak dan yang lainnya.
Secara umum pemungutan pajak telah terjadi sejak zaman dahulu. Pemungutan ajak pada zaman dahulu biasanya berupa upeti kepada raja sebagai tanda penghormatan dari rakyat. Pemungutan pajak secara teratur mulai diberlakukan pada masa kolonial.
Pajak dikenakan dengan nama yang berbeda-beda. Sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa kurun waktu yaitu masa penjajahan Belanda, setelah merdeka sampai 1979, 1979 sampai tahun 1983, dan 1983 sampai sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi pemasukan keuangan untuk keperluan penjajahan di negeri Belanda. Karena pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan pembangunan di Negeri Belanda. Sekalipun Indonesia telah merdeka, namun hukum perpajakan tidak banyak berubah. Perubahan yang dilakukan tidak mendasar, sehingga hukum pajak yang berlaku masih meletakkan landasannya pada kekuasaan administrasi parpajakan. Karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak maka pada tahun 1967 diperkenalkan sistem pemungutan pajak yang dikenal sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang lsin) dengan undang-undang No. 867 junto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1967.
Sejak tahun 1983 telah berlaku Undang-Undang No.6 Tahun 1983, Undang-Undang No.7 Tahun 1983 dan Undang-undang No.8 Tahun 1983. Dalam undang-undang perpajakan tahun 1983 tersebut berlaku asas perpajakan Indonesia, yaitu :
1.      Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak.
2.      Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar.
3.      Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis.
4.      Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan enuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi perpajakan.
Dengan berlakunya undang-undang No.6, 7, dan 8 Tahun 1983 maka sistem perpajakan Indonesia secara mutlak menganut sistem self assessment dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang diperolehnya dalam undang-undang perpajakan yang lama.[2]
Perkembangan terakhir perpajakan Indonesia adalah dengan lahirnya Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang PerubahanKetiga Atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang  Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Berangkat dari hal ini, penyusun akan membahas tindak pidana perpajakan dalam makalah ini. Adapun pembahasan akan lebih focus pada analisis tindak pidana perpajakan uang tercantum dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang PerubahanKetiga Atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 Tentang  Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



PEMBAHASAN
A.                Pengertian Tindak Pidana Perpajakan
Tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Ketentuan yang mengatur tindak pidana pajak terdapat dalam hukum pidana pajak yang berisi peraturan-peraturan tentang :
1.      perbuatan-perbuatan apa yang dapat diancam dengan hukuman,
2.      siapa-siapa yang dapat dihukum, dan
3.      hukuman apa yang dapat dijatuhkan.
Jadi tindak pidana pajak ini merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana.
Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Dan untuk mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana di bidang perpajakan maka perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
B.                 Unsur-Unsur Tindak Pidana Perpajakan
Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpjakan (UU No. 28 Tahun 2007), yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana perpajakan adalah :
a.       Siapa saja, baik pribadi maupun badan hukum.
Yang termasuk ke dalam kategori unsur “siapa saja” tersebut adalah Wajib Pajak dan Pegawai Pajak. Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 28 Tahun 2007, wajib pajak adalah pribadi atau badan hukum, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Bukan hanya wajib pajak, tetapi juga pegawai pajak dapat dijatuhi hukuman tindak pidana di bidang perpajakan. Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perpajakan meliputi pidana kurungan dan pidana denda kekurangan pembayaran pajak, yang diatur dalam ketentuan Pasal 37A, 38, 39, 39A, 41, 41A, 41B, dan 41C UU No. 28 tahun 2007.
b.      Melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban perpajakan.
Sebagai contoh ketentuan pidana kepada wajib pajak yang melanggar kewajiban pajak adalah ketentuan Pasal 38 UU No. 28 Tahun 2007. Dalam pasal tersebut disebutkan, setiap orang (wajib pajak) yang karena kealpaannya : (a) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, atau (b) menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, denda paling sedikit satu kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kuarang dibayar dan paling banyak dua kali jumlah pajak berhutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat tiga bulan atau paling lama satu tahun.
c.       Menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
C.                Aspek Pidana dalam UU Perpajakan
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat beberapa aspek pidana dalam perpajakan, yaitu :
Hukum Pidana
UU Perpajakan
Pokok
a.       Pidana Penjara 6 bulan-6 tahun).
b.      Pidana kurungan (3 bulan-1 tahun).
c.       Denda (1-2 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar).
Percobaan
a.      Pidana Penjara (6 bulan-2 tahun).
b.      Denda (2-4 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi).
Pembantuan
a.       Pidana Penjara (1-3 tahun).
b.      Denda (75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)).
Penyertaan
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Daluarsa
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 tahun sejak saat terutangnya pajak, betakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Penjelasan :
Daluarsa ini untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, penuntut umum dan hakim.
Jangka waktu 10 tahun adalah untuk menyesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen2 perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak terutang selama sepuluh tahun.


Sanksi Pidana dalam bidang perpajakan dibagi dalam beberapa katagori yaitu,
1.      Delik Kealpaan Oleh Wajib Pajak
“Setiap orang yang karena kealpaannya :
a.       Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b.      Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
2.      Delik Kesengajaan Oleh Wajib Pajak
i.        Dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar setiap orang yang dengan sengaja sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara :
a.       tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau NPPKP;
b.      menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP;
c.       tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d.      menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e.       menolak untuk dilakukan pemeriksaan
f.       memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g.      tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h.      tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia; atau
i.        tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
ii.      Setiap orang yang dengan sengaja:
a.       menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b.      menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
D.                Pajak Menurut Islam
Pajak hukumnya halal menurut pandangan mayoritas (jumhur) ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer. Adapun yang mengharamkan pajak umumnya didominasi ulama Wahabi dengan argumen bahwa pajak itu sama dengan mukus yang jelas dicela oleh Nabi. Namun, menurut jumhur ulama, pajak bukanlah mukus. Dan karena itu, haramnya mukus tidak bisa dijadikan dalil analogi (qiyas) dengan haramnya pajak yang berlaku saat ini.
Yang dimaksud mukus di sini adalah pengurangan atau pendzaliman. Secara terminologis, mukus adalah pajak atau pungutan (uang) yang diambil oleh makis (pemungut mukus atau kolektor retribusi) dari para pedagang yang lewat. Menurut Imam Nawaei, mukus itu haram hukumnya. Namun menurut banyak ulama’, pajak yang berlaku sekarang bukanlah mukus. Sehingga menurut beberapa pandangan ulama’ pajak itu halal atau boleh dilakukan.




KESIMPULAN
Tindak Pidana Perpajakan merupakan suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan kerugian keuangan negara dimana pelakunya diancam dengan hukuman pidana. Segala perbuatan tindak pidana perpajakan diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas undang-Undang No. 6 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Pajak.
Tindak pidana pajak terjadi karena kealpaan, kesengajaan, percobaan dan terjadi pada jabatan serta penyertaan atau pembantuan. Sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana dengan Pidana Penjara 6 bulan-6 tahun), Pidana kurungan (3 bulan-1 tahun).Denda (1-2 kali jumlah pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar).
Tindak pidana pajak merupakan kasus terbanyak yang terjadi setelah korupsi di Indonesia. untuk itu penegakan


[1] Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia,2006) hl 63
[2] Shopar Lumbantoruan, Akuntansi Pajak, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar